Jika ingin mencari untung, janganlah menjadi pejabat negara. Khalifah Umar bin Khathab pernah membukti itu. Selagi ia menjabat, tak ada beda pakaiannya dengan rakyatnya. Hingga bila ia berjalan ditengah-tengah pasar, tak ada yang mengenali jika dialah khalifah, sang kepala negara.
Penguasa dan pengusaha. Berkolaborasi. Terkadang berujung anugrah, bisa juga berakhir petaka. Andai penguasanya amanah dan pengusahanya ikhlas lagi dermawan, maka itu anugrah. Empat belas abad yang lalu ini pernah terjadi. Di jaman Rasulullah berkuasa. Memerintah negara Islam Madinah. Mereka punya pengusaha-pengusaha ikhlas siap berkorban. Sehingga menjadi penyokong ketahanan negara.
Adalah Abdurrahman bin Auf. Saudagar kaya, sahabat Rasulullah. Diriwayatkan Abdurrahman pernah bersedekah sebanyak 700 ekor unta. Dimana tiap ekor unta penuh bahan logistik. Darinya amat terbantulah perjalanan dakwah dan pemerintahan Rasulullah. Ada juga saudagar wanita yang diperistri Rasulullah. Ummul mukminin, Khadijah. Hartanya sangat membantu, diawal-awal masa kerasulan Muhammad. Ini bukti anugrah kolaborasi penguasa yang amanah dan pengusaha ikhlas. Berjung berkah.
Bagaimana jika sebaliknya, bersekutu antara penguasa dan pengusaha serakah. Maka petakalah yang akan terjadi. Tragedi Mesuji hingga Bima, adalah serangkaian pembuktiannya. Persekongkolan antara elit politik dan pemilik modal yang kemudian memanfaatkan kekuatan militer, selalu ada dalam setiap konflik agraria di Indonesia. Kongkalikong antara kedua pihak ini, menyebabkan rakyat terpinggirkan. Menuai derita.
Misalnya konflik Bima, Nusa Tenggara Barat. Bentrokan terjadi akibat warga enggan membuka blokade Pelabuhan Sape, Bima. Pemblokadean itu muncul, karena pemerintah dinilai abai terhadap tuntutan rakyat. Warga menuntut pencabutan SK Bupati Nomor 188 Tahun 2010 tentang izin pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (PT SMN). Konon aktifitas penambangan ini akan mengancam ketersedian sumber air untuk warga. Artinya pemberian izin tambang ini tidak melalui persetujuan warga terlebih dahulu. Hal yang sama juga terjadi di kawasan perkebunan kelapa sawit, Mesuji, Lampung.
Inilah kolaborasi pemerintah dan pemilik modal yang membawa petaka. Sudah jamak diketahui, pemberian izin, apalagi itu izin pertambangan pasti ada timbal balik. Antara pemerintah dan pemilik modal. Pemerintah memberi izin, timbal baliknya pemilik modal akan memberikan sejumlah saham kepada kepala daerah.
Inilah sebab, banyak pemerintah daerah tingkat dua, ramai-ramai memberikan ijin eksploitasi sumber daya alam. Mereka jelas butuh uang. Entah untuk memperpanjang kekuasaannya di periode berikutnya atau memburu balik modal dana kampanye yang tidak sedikit.
Begitulah sistem kapitalisme. Semua dianggap komoditi yang dapat datangkan untung materi. Termasuk jabatan. Perspektif ini yang begitu berbeda dengan Islam. Dalam Islam, jabatan dianggap sebagai amanah. Terlampau beratnya amanah itu, hingga Abu Bakar saat dibaiat menjadi kepala negara, ia tak bersorak sorai seperti sekarang. Justru menganggap jabatan kepala negara sebagai musibah.
Dorongan Akidah
Nah, mental pemimpin seperti ini yang sulit ditemukan saat ini. Pemimpin yang menjabat bukan berlatar kepentingan materi. Tetapi benar-benar atas dorongan akidah. Menjabat dalam rangka ibadah kepada Allah. Ini yang menjadi sulit dalam sistem kapitalisme saat ini. Bayangkan saja, sejak masa kampanye sudah besar biaya yang dikeluarkan.
Kapitalisme telah memiliki rumus yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, no free lunch. Tidak ada makan siang gratis. Semua biaya kampanye akan berusaha dikembalikan selama menjabat. Padahal kalau dihitung-hitung, biaya kampanye jauh lebih besar daripada akumulasi gaji kepala daerah selama lima tahun. Maka harus ada tambahan. Tidak perduli, darimana asalnya. Dan dengan cara apa mendapatkannya. Yang jelas bisa datangkan untung. Karena dalam kapitalisme tidak ada kaidah halal-haram.
Andai saja negeri ini menerapkan aturan Islam, maka insya Allah tragedi Mesuji dan Bima, tidak perlu terjadi. Karena Islam sedari awal sudah berusaha mentutup segala pintu yang memungkinkan terjadinya penindasan rakyat dikemudian hari. Sejak awal, para calon pemimpin telah dibentuk dengan mental pemimpin yang amanah. Tunjangan khalifah (kepala negara) tidaklah besar.
Jika ingin mencari untung, janganlah menjadi pejabat negara. Khalifah Umar bin Khathab pernah membukti itu. Selagi ia menjabat, tak ada beda pakaiannya dengan rakyatnya. Hingga bila ia berjalan ditengah-tengah pasar, tak ada yang mengenali jika dialah khalifah, sang kepala negara.
Bila aturan Islam yang terterapkan, maka akan muncul pemimpin-pemimpin yang berempati tinggi terhadap kepentingan rakyat. Kasus Bima, salah satu penyulutnya adalah macetnya saluran aspirasi rakyat kepada pemerintah. Keluhan rakyat tidak didengar. Sehingga terpaksa melakukan aksi anarkis agar mereka digubris. Sama dengan aksi bakar diri Sondang beberapa waktu yang lalu. Sepertinya Sondang sudah jemu dengan sikap abai pemerintah terhadap rakyat. Berharap dengan aksi bakar dirinya, timbul empati pemerintah. Tapi ternyata tidak juga.
Pengayom Rakyat
Sangat berbeda dengan karakter pemimpin saat syariat Islam diterapkan. Telah tersohor kisahnya. Saat pemerintahan Khalifah Mu'tasim Billah. Ketika ada Muslimah yang berteriak akibat tersingkap auratnya oleh seorang Yahudi. Sampai kabar itu di telinga penguasa Mu'tasim Billah. Membuatnya murka. Sehingga mengirimkan ribuan pasukan, hanya untuk menyelamatkan kehormatan satu orang muslimah. Saat itu, penguasa benar-benar menjadi pengayom rakyatnya.
Lagi,, bila saja aturan Islam yang diterapkan, tragedi Mesuji dan Bima tidak perlu terjadi. Mesuji dan Bima, memiliki akar masalah yang mirip. Tentang sengketa tanah. Bila saja aturan Islam yang dipakai, ini tak akan terjadi. Hanya saja yang digunakan adalah aturan kapitalisme, sehingga lahan tambang boleh dikuasai swasta/pribadi. Pandangan Islam, ini tidak dibenarkan.
Islam memandang, kekayaan alam yang terkandung di perut bumi, termasuk barang tambang, adalah kepemilikan negara. Tidak boleh dimiliki oleh swasta. Negara yang berhak memiliki dan mengolahnya. Hasilnya dikembalikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tidak begitu dengan tambang di Bima. Pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta (PT SMN). Pasti jika swasta yang mengelola, orientasinya adalah keuntungan. Tidak mengapa kepentingan rakyat dirugikan. Asal untung mampu dikeruk. Jika rakyat memberontak, tenang saja, ada pemerintah yang bisa diajak kompromi.
Entah, tragedi apalagi yang harus terjadi, agar negeri ini sadar. Bahwa sistem yang dianut sekarang teramat rapuh. Tak bisa lagi diharapkan untuk membawa pada masa depan cerah. Apakah harus muncul lagi tragedi yang lebih dahsyat dari Bima dan Mesuji? Baru negeri ini sadar? Semoga tidak.
Kapitalisme dengan demokrasi liberalnya, telah terbukti gagal mengawal bangsa ini. Tidak ada salahnya memberikan kesempatan kepada Islam untuk dijadikan sistem aturan. Jadikan Bima dan Mesuji sebagai tragedy terakhir. Kembalilah kepada solusi Islam. Maka pintu kerahmatan dari langit dan dari bumi akan terbuka lebar. Yakinlah!
Penulis:
Adi Wijaya
Advisory Staff Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Daerah Makassar
Source:makassar.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar