31 Oktober 2011 - 07.28 WIB > Dibaca 181 kali
Terkait kebijakan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), pemerintah tak tetap hati. Macam baling-baling di atas bukit.
Sekejap ke Barat, sekejap lagi sudah ke Tenggara. Tergantung, arah angin kuat menekan.
Terutama angin politik dan aroma kepentingan. Selalu ragu-ragu dan terlalu berorientasi administratif. Kadang iya, kadang tidak. Belum tuntas sebuah peraturan diterapkan sudah bermunculan macam-macam usulan kebijakan baru, termasuk soal sistem penerimaan yang penuh dengan karut-marut dan campur tangan gelap.
Hari ini, pemerintah menangguhkan sementara penerimaan CPNS baru —di tengah bejibun-nya usulan pemerintah daerah dan kementerian, yang minta keran penerimaan dibuka.
Alasannya, belum ada hitungan yang jelas dan betul-betul valid sesuai standar profesionalitas soal jumlah keperluan PNS di republik ini. Penerimaan pegawai honorer pun harus dihentikan. Mudah-mudahan ini keputusan yang tepat.
Begitu juga keputusan untuk menghentikan penerimaan pegawai honor. Sebab, para honorer ini, dicurigai hanya diisi oleh saudara-mara para pejabat. Bukan diterima karena keperluan pekerjaan, tapi lebih kepada kepentingan keluarga dan sanak famili mereka.
Ironisnya, di tengah keragu-raguan pemerintah itu, sistem pengukuran dan penilaian efesiensi dan efektifitas PNS sampai kini tetap amburadul alias tak jelas.
Padahal, seharusnya pemerintah memiliki standarisasi penilaian kinerja yang betul-betul terukur sehingga bisa ditemukan rumus untuk mendapatkan indeks efektifitas.
Di keseharian, kerap dijumpai, masih banyak PNS yang kerja santai dan asal-asalan. Kinerjanya sangat buruk. Kualitas pelayanannya rendah. Celakanya, PNS model begini tetap bekerja sampai masa pensiun.
Di sisi lain, banyak juga PNS yang berkerja sungguh-sungguh, tapi tidak bisa mendapatkan hak untuk “dinilai” sesuai kinerja.
Pada akhirnya, banyak juga PNS yang terjebak dengan ironi,”kerja seribu, tak kerja lima ratus. Kerja-tak kerja, seribu lima ratus.” Ujung-ujungnya, serajin apapun sang PNS ini pada awalnya, ujung-ujungnya ia akan jadi, kerja asal-asalan saja. Siapa peduli?
Lebih ironis, di instansi atau satuan kerja yang banyak honorernya, maka sesungguhnya yang betul-betul kerja itu adalah mereka. Banyak sekali Satker yang tak akan jalan kalau tak memiliki tenaga honorer.
Mengapa begitu? Karena, para honorerlah yang masih bisa di-tekan-tekan, disuruh-suruh keras dan lembur. Sementara yang PNS-nya, kebanyakan santai-santai aja. Ya, begitulah.***
0 komentar:
Posting Komentar