Setiap tanggal 3 Mei masyarakat pers memperingati Hari Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Hari Kebebasan Pers Sedunia yang dicanangkan PBB sejak 1993 ini adalah upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers bagi rakyat dan negara. Selain itu, ditujukan untuk mengingatkan negara di mana pun agar tetap menjamin, menghormati, dan menjaga kebebasan pers sesuai dengan aturan yang berlaku.
Berbicara tentang hari pers maka menyangkut tentang informasi berita dan wartawan yang meliput berita. Informasi berita yang disuguhkan kepada masyarakat baik dalam bentuk media cetak, on line atau televisi tentunya harus sehat karena hal ini merupakan perkara penting bagi masyarakat dalam suatu negara, yaitu untuk memberikan pengetahuan dan fakta yang benar ke seluruh umat manusia.
Media informasi diperlukan untuk menggambarkan informasi dengan benar dan membina kepribadian masyarakat sehingga terdorong untuk hidup dengan cara yang benar serta menciptakan masyarakat yang cerdas dan peduli terhadap kondisi suatu bangsa. Selain itu wartawan memiliki peranan yang penting dalam menyajikan berita sehingga berita dapat sampai kepada masyarakat luas melalui media. Namun tak sedikit wartawan yang mengalami kekerasan baik fisik maupun nonfisik sehingga menyerempet keluar dari kaidah-kaidah jurnalistik.
Kekerasan Fisik
Praktik media yang menyerempet keluar dari kaidah-kaidah jurnalistik, ternyata dari cacatan sejumlah lembaga masih banyak wartawan yang mendapat tindakan kekerasan dan diskriminasi dalam menjalankan tugas peliputan.
Belakangan ini kasus kekerasan terhadap jurnalis justru meningkat sejalan kuatnya pengaruh media terhadap pergulatan politik. Data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum Pers, sepanjang 2009 terdapat 55 kasus. Kasus itu terdiri dari 32 kekerasan fisik, perampasan, hingga pembunuhan. Sementara dalam kurun Januari hingga April 2010, tercatat 28 kasus kekerasan psikis berupa larangan meliput hingga ancaman dan intimidasi.
Kekerasan Non-Fisik
Kebebasan pers di tanah air ternyata terancam juga oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau jabatannya. Tak sedikit wartawan yang terlibat kasus percaloan proyek atau pemerasan dengan menyalahgunaan profesi, gara-gara tidak mendapatkan upah tetap dan layak. Apalagi dalam masa-masa seperti sekarang ini, ketika di sejumlah daerah di Indonesia akan menggelar Pemilukada, maka pekerja pers dan media sebaiknya berhati-hati agar fungsinya sebagai kontrol sosial tidak terganggu, jangan sampai wartawan ditempatkan sebagai barang produksi dalam kapitalisme ini.
Selain itu pemutusan hubungan kerja (PHK) pun kerap terjadi secara sepihak. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) melaporkan pada tahun 2010 sebagai musim gugur pekerja media di Indonesia. Jika pada kurun November 2008-April 2009, AJI mencatat hanya ada 100 pekerja media yang dipecat, kini data tersebut kian melonjak tajam.
Dari aspek hukum, cukup banyak kasus yang melibatkan pekerja media dimejahijaukan ketika memberitakan kebenaran seperti contoh kasus wartawan Tempo, Metta Darmasaputra yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri milik taipan Sukanto Tanoto pada tahun 2007, justru disadap dan diancam dipidanakan oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.
Selain itu kekerasan non fisik juga terjadi ketika negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang (UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, Pemilu, dan KUHP yang didalamnya mengandung ancaman penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310, 311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan atau nama baik yang tercemar.
Semua permasalahan tersebut pada akhirnya, pers harus ditempatkan dengan tepat dan proporsional. Pers bukan menjadi alat atau legitimasi kekuasaan yang kapitalis. Pemerintah seharusnya memiliki kesadaran akan peran dan fungsi pers sesungguhnya serta peduli terhadap keamanan dan tingkat kesejahteraan profesi wartawan dari bahaya kapitalisme dan kekerasan, jangan sampai wartawan ditempatkan sebagai barang produksi dalam kapitalisme ini. Akhirnya di momentum hari pers ini pemerintah menjadi peduli terhadap pers dan kepribadian masyarakat terdorong untuk hidup dengan cara yang benar serta dapat menciptakan masyarakat yang cerdas dan peduli terhadap kondisi suatu negara melalui pers yang benar.
Andi Perdana Gumilang
Pengamat dan Ketua Umum MT Al-Marjan Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan IPB 2007-2008
Email: andi.sangpenakluk@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar