BEGITU membaca berita tentang Windar Kristian Waruwu di Riau Pos, Jumat (21/5/2010) penulis benar-benar merasa miris. Anak malang yang baru saja tamat SD itu, putus asa tak bisa melanjutkan sekolah karena ditakdirkan miskin dan akhirnya mati bunuh diri di kandang kambing.
Yang membuat penulis miris, anak itu berasal dari satu kabupaten dengan penulis, kabupaten yang bergelimang kekayaannya. Dia juga sama-sama berada di satu tanah air, yaitu tanah air yang menyimpan berjuta kegemilangan sumber alamnya. Tapi jujur, hanya sesaat saja penulis terhenyak dan miris, selanjutnya mahfum mengapa Windar akhirnya bunuh diri.
Dengan anggaran pendidikan yang terus bertambah setiap tahunnya (di APBN-P 2010 saja, anggaran pendidikan naik Rp11,9 triliun dari Rp209,5triliun di APBN menjadi Rp221,4 triliun di APBN-P 2010), kita tetap saja masih melihat banyak anak-anak di Indonesia yang tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka.
Bukan karena tidak mau, ataupun tidak pintar otaknya. Tapi karena suatu ironi ketidakmampuan. Mungkin kita semua harus menganggukkan kepala, untuk suatu kalimat yang sering kita dengar (dan hati kita membenarkannya): “Orang miskin dilarang sekolah!”
Jumlah siswa putus sekolah untuk sekolah dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah 150.000-200.000 siswa.
Rangkaian ironi tanah air tidak berhenti pada masih tingginya anak-anak Indonesia tak bisa sekolah, tapi fakta memaparkan pada akhirnya mereka-mereka yang tidak dapat melanjutkan pendidikan karena kemiskinannya ini terpaksa harus menjadi buruh lepas yang jauh dari kata kesejahteraan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2010, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia mencapai 107,41 juta orang. Dari jumlah ini, pekerja yang paling tinggi berasal dari jenjang pendidikan yang hanya tamat SD ke bawah (tidak tamat SD), yaitu sekitar 55,31 juta orang atau 51,50 persen dari angkatan kerja di Indonesia.
Hampir sebagian besar dari mereka, adalah buruh yang berasal dibawah usia 20 tahun. Meski sudah jelas-jelas dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa hak atas pendidikan meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, hak memilih pendidikan dan pengajaran, hak atas pendidikan dasar gratis, dan hak untuk mendapatkan jaminan negara atas anggaran pendidikan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun. Namun dalam kenyataannya semua hak yang harusnya dimiliki oleh rakyat itu, atau hak yang dimiliki oleh Windar malang itu tidak dijalankan dengan benar di negeri ini.
Penulis merasa wajib dalam tulisan ini untuk menyelipkan sedikit contoh dari ironi pendidikan yang penulis rasakan sendiri. Suatu ironi yang akhirnya menggiring untuk bisa memahami mengapa Windar malang bunuh diri. Karena penulis kebetulan lahir dan besar dari kalangan keluarga tidak mampu di kabupaten yang sama dengan Windar.
Ayah di-PHK, di saat penulis sedang senang-senangnya mendapat juara kelas dibangku SD. Putus sekolah membayangi penulis kapan saja bahkan setiap harinya penulis rasakan adrenalin stres yang harus ditanggung oleh anak seusia penulis dan mungkin inilah yang Windar rasakan sebelum memilih gantung diri.
Tapi penulis beruntung, punya orangtua yang rela menjual apapun dengan meminjam ke sana-sini, agar anak-anaknya tetap bisa sekolah. Penulis beruntung akhirnya bisa menamatkan pendidikan S1 di salah satu Universitas di Pulau Jawa dengan predikat lulusan terbaik.
Untuk semua itu, bukan tanpa perjuangan. Penulis bahkan pernah menjadi buruh waktu kuliah dengan menyambi jualan di pasar tradisional yang buka pada malam hari. Lalu pagi harinya dengan mata setengah mengantuk penulis harus berangkat kuliah lagi. Itupun pernah sambil menyambi jualan gorengan ke kos teman-teman.
Penulis lalui perjuangan demi mendapatkan pendidikan yang layak itu tanpa beasiswa seperser pun dari kabupaten penulis yang kaya-raya itu. Dua kali pengajuan beasiswa yang dikirimkan, selalu ditolak tanpa alasan. Padahal nilai Indek Prestasi Kumulatif (IPK) tiap semesternya nyaris 4 dan sudah memenuhi semua persyaratan administrasi yang berbelit-belit. Begitulah kenyataannya.
Andai saja Windar tetap hidup, dia mungkin akan terus hidup dengan penuh rasa kekecewaan, putus asa atau bahkan sakit hati pada negeri ini. Pada negeri yang berjanji memberikan 20 persen dari anggaran negaranya untuk pendidikan, namun siswanya tetap saja harus dihadapkan pada berbagai iuran, uang buku, uang foto kopi, uang baju sekolah bahkan uang perpisahan yang jumlahnya membuat orangtua anak tidak mampu.
Kalau saja Windar tetap hidup hingga akhirnya dapat meraih gelar sarjana, mungkin dirinya akan lebih terpuruk lagi. Karena ternyata negara juga tidak bisa memberikan jaminan kesejahteraan dengan tersedianya lapangan kerja yang layak. Seperti tak ada habis-habisnya memberikan ironi, pendidikan di Indonesia yang dikenal paling mahal di antara negara-negara lainnya di Asia, justru bukan jaminan untuk bisa menyerap tenaga kerja yang memadai.
Per Februari 2010, BPS RI mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,6 juta orang. Ironisnya, hampir 15,71 persen di antaranya merupakan pengangguran dari pendidikan Diploma dan 14,2 persen lainnya adalah pengangguran dari lulusan Sarjana (S1 dan S2).
Dari jumlah angkatan kerja 116 juta orang, hanya 4,94 juta orang pekerja saja yang berasal dari tingkat sarjana. Sisanya kebanyakan adalah buruh tidak tamat SMA sampai tidak tamat SD. Makanya terasa wajar, bila seorang Jack Lord, mahasiswa cumlaude dari salah satu universitas terkemuka di Riau, terpaksa harus ikhlas 8 tahun menjadi PNS dengan tugas tukang sapu.
Penulis tidak sedang pesimis, karena selalu menanamkan prinsip tidak boleh mengenal kata putus asa. Karena hidup ibarat perjuangan dalam perang. Bagi yang mau menang dalam perang, harus punya senjata yang cukup yaitu ilmu pengetahuan, keberanian untuk tetap hidup dan pantang menyerah.
Termasuk percaya pada rahasia Tuhan. Patut kiranya, kita mengawal berbagai kebijakan pemerintah. Cukuplah satu nyawa Windar malang saja yang membuka mata hati kita semuanya yang masih hidup ini. Kejadian ironis mati bunuh diri karena putus asa tak bisa menyambung sekolah, jangan sampai terjadi lagi. Anggota dewan yang duduk di legislatif, yang sudah dititipkan suara dari rakyat dibawahnya, haruslah bisa memastikan, bahwa anggaran pendidikan yang nilainya luar biasa itu, harus jatuh ke tangan yang tepat.
Para pemimpin, mulai dari presiden, menteri, bupati, walikota, camat, lurah bahkan kepala sekolah, juga harus bisa mengalokasikan dana bukan hanya tepat alokasinya, tapi juga tepat diterima oleh sasaran yang berhak menerimanya. Sungguh, penulis menangis untuk beberapa lama melihat jasad kaku Windar malang yang sudah tidur dengan tenang. Penulis melihat wajah tenang itu seolah ingin berkata: “Saya hanya ingin sekolah.”***
Afni Zulkifli, Jurnalis/Mahasiswi Pascasarjana Fisipol Unri.Source:Riaupos.com
0 komentar:
Posting Komentar