oleh:
Ilam Maolani
Ada sebuah ungkapan motivasi yang perlu direnungi oleh para guru. Ungkapan itu berbunyi: “Jika ada 1.000 guru, biarlah saya yang ke-1000; jika ada 100 guru, biarlah saya yang ke-100; jika ada 10 guru, biarlah saya yang ke-10; tetapi jika ada satu orang guru, itulah saya”. Ya, kalimat “itulah saya” yang harus menjadi dorongan bagi seorang guru untuk menjadi guru sukses. Sukses menjadi seorang guru yang dari kepiawaian “polesannyalah” muncul profesi-profesi lain.
Menjadi guru sukses merupakan idaman dan sebuah keniscayaan bagi setiap orang yang berprofesi guru. Kriteria pokok seseorang bisa dikategorikan guru sukses ialah manakala ia telah menjadikan siswanya sukses. Siswa yang sukses adalah siswa yang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, maju, dan berkembang, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Setelah belajar siswa mampu mempunyai ilmu pengetahuan, mampu melakukan, segala perilaku baik menjadi karakter dirinya, serta bisa bergaul dengan masyarakat. Siswa sukses bukan berarti siswa yang memiliki ilmu tinggi tapi hatinya mati, punya otak cerdas tapi jiwanya seperti “cadas”. Siswa sukses mempunyai otak yang selalu berpikir, hati yang selalu berdzikir, dan tangan yang terampil.
Membentuk siswa yang sesuai dengan harapan di atas tentulah tidak mudah. Butuh kerja keras dari para guru. Guru tidak bisa melakukannya sendirian, ia butuh bantuan guru-guru lain. Kesuksesan dalam mendidik anak perlu kerjasama terpadu dari semua pihak. Ada sebuah ungkapan “the success is not your success, but the success is our success.” Membentuk kesuksesan seorang siswa bukan ditentukan oleh “saya”, tapi oleh “kami atau kita”.
Kalau dikaji secara mendalam, tak bisa dipungkiri bahwa adanya perubahan pada diri siswa diawali oleh adanya rasa ketertarikan dalam mengikuti pembelajaran dari seorang guru. Menanamkan rasa ketertarikan siswa bukanlah perkara yang mudah bagi guru. Munculnya berbagai masalah pembelajaran seperti siswa malas belajar, ribut di kelas, bolos sekolah, merasa jenuh/bosan, nilai hasil belajarnya rendah, dan lain-lain, merupakan contoh nyata dari ekses tidak terampilnya guru dalam menyajikan pembelajaran. Guru tidak memberikan efek ketertarikan siswa pada proses pembelajaran yang dijalankannya. Kalau sudah demikian faktanya, sekarang timbul pertanyaan, “Bagaimana menjadi guru yang menarik itu?”.
Dalam buku Siapa Bilang Jadi Guru Hidupnya Susah, M Hasyim Ashari (2007: 29-30) mengetengahkan tiga kiat untuk menjadi guru yang menarik, antara lain: Pertama, selalu berpenampilan bersih dan rapi. Guru itu ibarat seorang artis. Dia akan menjadi pusat perhatian siswa. Apa yang dipakai guru semua akan diperhatikan siswa. Guru yang berpenampilan bersih dan rapi akan menambah semangat siswa untuk mengikuti pelajarannya. Sebaliknya, siswa menjadi kurang respek jika gurunya berpenampilan acak-acakan. Kedua, selalu bersemangat. Pernah ada cerita seorang guru sebelum memulai mengajar, ia mengatakan kepada siswa,”Maaf hari ini saya agak kurang enak badan.” Ternyata pengaruhnya sungguh luar biasa. Sebelum guru itu mengatakan kalimat tersebut, wajah para siswa begitu berseri-seri. Akan tetapi setelah kalimat itu meluncur dari mulut guru, tiba-tiba mereka tidak bersemangat. Wajah yang berseri-seri tadi berubah drastis menjadi agak cemberut. Dari cerita ini jelas bahwa guru harus selalu bersemangat dalam mengajar meskipun ia sebenarnya sedang sakit. Untuk menutupi tubuh yang sedang loyo, gunakan frekuensi dan intonasi suara yang teratur. Bisa juga dengan metode pembelajaran yang berbeda untuk menghemat energinya. Ketiga, tidak terlalu sering duduk di kursi. Duduk di kursi adalah kebiasaan guru dalam mengajar. Akan tetapi kebiasaan itu menjadi kurang baik ketika selama pembelajaran berlangsung guru terus-terusan dari awal sampai akhir duduk di kursi. Gunakan kesempatan mengajar dengan adanya gerakan yang bervariasi, terkadang duduk di kursi, berdiri, jalan ke samping atau ke belakang kelas.
Ketiga kiat di atas, jika dipadukan dengan sebuah buku hasil karangan penulis yang berjudul Strategi Belajar Mengajar (Diterbitkan pada tahun 2008 oleh STAIM Press), maka akan berujung pada sebuah solusi yang bernama adanya “Variasi Mengajar”. Variasi mengandung beberapa arti, yaitu: 1) tindakan atau hasil perubahan dari keadaan semula; 2) selingan; 3) bentuk (rupa) yang lain; 4) perubahan rupa (bentuk) yang turun temurun pada binatang yang disebabkan oleh perubahan lingkungan (Depdiknas RI, 2003: 1259). Maka yang dimaksud dengan variasi mengajar adalah bermacam atau beragamnya bentuk (rupa) kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam menyajikan materi pelajaran kepada siswa. Dalam upaya menampilkan guru yang menarik dan menghilangkan kejenuhan serta kebosanan, guru mesti memainkan tiga dimensi variasi mengajar, antara lain: Pertama, variasi gaya mengajar. Bagi siswa, variasi gaya mengajar dilihat sebagai sesuatu yang energik, antusias, bersemangat, dan semuanya memiliki relevansi dengan hasil belajar. Variasi gaya mengajar ini terdiri dari: Variasi suara (bervariasi dalam intonasi, nada, volume, dan kecepatan. Guru dapat mendramatisasi suatu peristiwa, menunjukkan hal-hal yang dianggap penting, berbicara secara pelan dengan seorang anak didik atau berbicara secara tajam dengan anak didik yang kurang perhatian); Penekanan/focusing (Untuk memfokuskan perhatian anak didik pada suatu aspek yang penting atau aspek kunci, guru dapat menggunakan penekanan secara verbal. Penekanan ini biasanya dikombinasikan dengan gerakan anggota badan yang dapat menunjuk dengan jari atau memberi tanda pada papan tulis); Pemberian waktu/pausing (untuk menarik perhatian anak didik dapat dilakukan dengan mengubah yang bersuara menjadi sepi, dari suatu kegiatan menjadi tanpa kegiatan atau diam. Bagi anak didik, pemberian waktu dipakai untuk mengorganisasikan jawabannya agar menjadi lengkap); kontak pandang (bila guru berbicara atau berinteraksi dengan anak didik, sebaiknya mengarahkan pandangannya ke seluruh kelas, menatap mata setiap anak didik untuk dapat membentuk hubungan yang positif); gerakan anggota badan/gesturing (variasi dalam mimik, gerakan kepala atau badan merupakan bagian yang penting dalam komunikasi. Tidak hanya untuk menarik perhatian saja, tetapi juga mendorong dalam menyampaikan arti pembicaraan); dan pindah posisi (perpindahan posisi guru dalam ruang kelas dapat membantu dalam menarik perhatian anak didik, dapat meningkatkan kepribadian guru. Perpindahan posisi dapat dilakukan dari muka ke bagian belakang, dari sisi kiri ke sisi kanan, atau di antara anak didik dari belakang ke samping anak didik).
Kedua, variasi media pembelajaran. Guru suatu saat bisa menggunakan alat bantu media yang bersifat visual atau audio, dan di saat lain dapat memakai media audio visual. Ketiga, variasi interaksi, terkadang interaksi satu arah, dua arah, atau multiarah.
Terakhir, di samping ketiga dimensi tersebut, ketertarikan siswa akan muncul apabila guru mampu menerapkan prinsip PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan) dan GASING (Gampang, Asyik, Inovatif, Menyenangkan) serta dapat menghilangkan perilaku yang mengakibatkan adanya sebutan atau panggilan stigma negatif yang melekat pada diri, seperti: guru ambeyen (guru yang hanya duduk di kursi selama pembelajaran berlangsung), guru tukang obat (guru yang sering mengajar dari awal sampai akhir menggunakan metode ceramah), guru talk and chalk (guru yang di setiap pertemuan hanya ceramah dan menulis saja), guru peci (guru laki-laki yang ke kelas suka memakai peci, tapi ketika mengajar ia simpan pecinya saja di meja guru, sementara ia sendiri keluar kelas melakukan keperluan yang lain, jadi yang ada hanya pecinya saja sedangkan gurunya tidak ada), guru kantong (biasanya guru perempuan membawa kantong kalau masuk ke kelas, akan tetapi ketika tiba saatnya ia mengajar, kantongnya saja yang ia tinggalkan di meja guru sementara ia sendiri ke luar kelas mengerjakan keperluan lain). Be the success and interesting teacher! Semoga. (*)
*) Penulis adalah
guru SDN Sambongpari
0 komentar:
Posting Komentar