Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut Shaumu. Shaum, secara etimologi adalah devinisi dari menahan dari segala sesuatu, seperti menahan tidur (bergadang), menahan bicara, menahan makan dan sebagainya. Adapun secara Termenologi Shaum mempunyai makna menahan diri dari segala sesuaatu yang membukakan, satu hari lamanya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat yang Insya Allah akan Kita bahas nantinya.
Puasa atau shaum terbagi kepada 4 macam:
1. puasa wajib, yaitu puasa bulan Ramadhan, puasa kifarat dan puasa nazar.
2. puasa sunat, seperti puasa enam hari pada bulan syawal, puasa hari Arafah dan lain-lain.
3. Puasa makruh, seperti puasa terus menerus sepanjang masa selain dua hari raya dan hari tasyriq.
4. puasa haram, seperti puasa terus menerus sepanjang masa termasuk dua hari raya dan hari tasyriq.
Puasa bulan Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, jadi diwajibkan (fardu a’in) kepada setiap orang yang Mukhalaf (telah sampai umur dan tidak gila). Puasa bulan ramadhan ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun kedua setelah Nabi Muhammad berpindah Ke Madinah Al Mukarramah.
Rasulullah sendiri telah mengerjakan puasa sembilan kali Selama Bulan Ramadhan.
Puasa Ramadhan sendiri diwajibkan kepada tiap-tiap mukhallaf (tiap individu mukhallaf) dengan salah satu ketentuan berikut:
- dengan melihat bulan, bagi yang melihatnya sendiri
- dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari, sesuai dengan hadist Rasulullah Saw:
“Berpuasalah kamu sewaktu melihatnya (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu melihatnya (bulan syawal), maka jika ada yang menghalangi (seperti mendung.Red) sehingga bulan tidak tampak hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari”. (HR. Bukhari).
- Dengan adanya Rukyah (melihat) bulan oleh seseorang yang adil dan orang adil tersebut mempersaksikannya dimuka hakim.
- Dengan kabar mutawatir, yaitu kabar orang banyak, sehingga mustahil mereka akan dapat sepakat untuk berdusta atas kabar tersebut.
- Percaya kepada orang yang melihat
- Dengan ilmu hisab atau kabar dari Ahli Hisab.
PENDAPAT-PENDAPAT TENTANG MELIHAT BULAN
Apabila awal bulan ramadhan itu kelihatan (dilihat) pada sebahgian yang melihat itu, teranglah tidak ada perbedaan paham. Yang menjadi pertikaian paham antara ulama ulama terhadap negeri yang tidak melihat itu, apakah wajib atas penduduk negeri yang tidak melihat bulan untuk puasa, karena ada yang melihatnya di negeri lain atau tidak dalam hal ini timbul beberapa paham sebagai berikut ini :
- Pendapat pertama : tidaklah wajib puasa atas penduduk negeri yang tidak melihatnya, berarti melihat bulan dinegeri lain tidak mewajibkan puasa atas penduduk negeri yang tidak turut melihatnya.
- Wajib puasa atas penduduk negeri yang tidak melihat itu, apabila melihat bulan itu ditetapkan oleh imam karena imam mempunyai hak terhadap semua negeri-negeri yang diperintahnya.
- hanya wajib puasa atas penduduk negeri-negeri yang berdekatan dengan negeri-negeri yang melihat, tetapi terhadap penduduk negeri yang jauh dari negeri tempat melihat itu, tidak wajib puasa. Dalam ukuran jarak jauh ini ada pula beberapa pendapat.
- yang dinamakan jauh ialah sama dengan perjalanan Qashar.
- Perbedaan hawa, panas atau dinginnya negeri itu dibandingkan dengan negeri tepat melihat bulan itu.
- Perbedaan mathali’ (terbit matahari). Pendapat inilah yang lebih dekat kepada pengertian ilmiyah.
- wajib puasa atas penduduk negeri yang pada adatnya kemungkinan melihat sama dengan negeri yang melihat itu, apabila tidak ada yang menghalanginya.
- tidaklah wajib apabila negeri ituberbeda tinggi atau rendahnya dengan negeri tempat melihat bulan itu.
Timbulnya perbedaan paham ini disebabkan hadis kuraib yang berbunyi:
“dari kuraib, sesungguhnya dia telah diutus oleh ummul- Fadli ke Syam untuk menemui Muawiyah, katanya: Saya sampai di Syam, lalu saya selesaikan keperluan ummul Fadli; sewaktu saya di Syam iyu terjadilah Ru’yah Hilal Ramadhan, saya lihat bulan pada malam jum’at kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada saya, katanya: kapan kamu melihat bulan? Saya jawab: pada malam jum’at; Abdullah bertanya lagi, engkau sendiri yang melihatnya? Saya jawab: “ya, saya sendiri melihatnya dan orang banyak pun melihatnya pula dan mereka puasa dan Muawiyah pun puasa. Kemudian berkata Abdullah: Tetapi kami melihat pada malam Sabtu, maka kami teruskan puasa sampai cukup 30 atau sampai kami melihat bulan Syawal. Lalu saya bertanya: apakah tidak cukup dengan melihatnya Muawwiyah akan bulannya dan dengan puasanya? Jawab Abdullah: Tidak! Begitu diperintahkan Rasulullah Saw. (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majjah).Source:deepmudi
0 komentar:
Posting Komentar