Pages

Subscribe:

06 Mei 2010

Bagaimana jika UN hanya sebagai survey?

Kembali membicarakan UN, sebab masih ada ide yang belum tersampaikan. Seperti dibicarakan dalam tulisan yang lalu, kita seakuran dengan pemerintah menggunakan UN sebagai alat memetakan kualitas pendidikan di Indonesia (sekalipun sebenarnya tidak akur sekali). Kali ini bagaimana kalau kita bantu pemerintah yang ingin sekali memetakan kualitas pendidikan, sebab data itu barangkali perlu untuk disampaikan kepada khalayak dalam dan luar negeri. Oya, sedikit ralat, nama UN sekarang berganti menjadi UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional). Tapi karena kepanjangan ngetiknya, dalam tulisan ini kita singkat saja menjadi UN.(Ralat lagi, UASBN untuk SD, dan UN untuk SMP dan SMA)

Selama ini UN dilaksanakan sebagai kewajiban sekolah yang tidak pandang bulu. Artinya di manapun sekolah itu, bagaimanapun bentuknya, seberapapun jumlah muridnya, asalkan terdaftar sebagai sekolah di bawah koordinasi DIKNAS atau DEPAG maka wajib hukumnya mengikuti UN. Karena pelaksanaannya yang menasional otomatis beban biayanya juga besar. Menurut Kompas Kamis, 29 Januari 2010, anggaran UN tahun ini membengkak menjadi 593,1 milyar. Anggaran itu membengkak karena pelaksanaan UN meliputi SD, SMP, SMA, paket A,B,C dan juga UN utama dan UN ulangan. Lalu, karena dananya tidak cukup, Mendiknas meminta Menag untuk ikut urun dana.

Permasalahan kedua dalam pelaksanaan UN adalah kecurangan. Sekalipun percaya bahwa Tuhan itu ada, dan malaikat pencatat amal juga ada masih banyak yang berbuat curang. Mungkin karena menganggap ini dosa kecil. Jika didesak adanya kecurangan, pemerintah hanya mengatakan akan mencoba menguranginya melalui pelaksanaan yang lebih kredibel. Caranya seperti apa ? Seperti dilaporkan Kompas edisi di atas, Mendiknas mengatakan akan meminta Gubernur, Bupati dan Walikota untuk menyelenggarakan UN yang jujur dan kredibel (La, kalo cuma begini semua juga bisa dan dari dulu memang pekerjaan pejabat atas cuma “menghimbau dan mengharap”.

Perguruan tinggi atau lembaga independen bahkan pak polisi pun diturunkan untuk mengawasi jalannya UN. Anak-anak yang mau UN dan para guru pengawas sudah dicap “tidak jujur” sebelum UN berlangsung. Kasihan sekali ! Kepala sekolah dikumpulkan di kantor Pak Bupati/Walikota, lalu diwanti-wanti supaya angka 100% lulus tercapai. Pak kepala sekolah yang jelas-jelas tahu kondisi muridnya pasti tidak tidur mengadakan koordinasi dengan guru-guru supaya semua anak2nya bisa lulus. Dengan berbagai cara akhirnya lulus 100%. Lalu disusunlah laporan yang sama seperti tulisan lalu.

Permasalahan ketiga adalah ternyata UN tidak mencerminkan kualitas anak-anak Indonesia secara jamaknya. Angka kelulusan meningkat tidak bunyi apa-apa, tatkala kemampuan anak-anak diuji kembali di level internasional. Yang pintar cuma terkonsentrasi di kota-kota besar. Dan ini wajar, karena kota adalah pusat informasi dan pusat pembangunan.

Lalu apa keuntungan UN ? Ya….mungkin keuntungan untuk pejabat yang mengurusnya, atau percetakan yang mencetak lembar soal dan jawaban, atau dulu di salah satu media mantan wapres kabinet lalu pernah mengatakan murid-murid jadi rajin belajar dengan adanya UN, atau UN sebagai alat evaluasi (ini yg sering disebut-sebut juga oleh pejabat sebagai nilai positif UN, padahal sebagai alat tentunya tidak bernilai apa-apa jika tidak bisa berfungsi baik).

Saya kebingungan mencari keuntungannya, dan malah yang lebih banyak kelihatan hanya masalah atau akibat buruk yang muncul. Dalam persidangan DPR komisi X entah dengan alasan apa tetap menyetujui pelaksanaan UN.

Seandainya pemerintah merasa wajib mengevaluasi pelaksanaan pendidikan di Indonesia,  bagaimana kalau dibuat semacam survey saja? Tidak semua sekolah ikut serta, semacam survey yang sering diadakan oleh BPS. Survey untuk mengukur kualitas hidup manusia Indonesia misalnya. Berapa sekolah yang mesti diikutkan dalam survey kualitas pendidikan, dan bagaimana sistem pelaksanaannya, serahkan kepada BPS atau pakar-pakar statistik.

Adapun evaluasi belajar secara keseluruhan tetap dilakukan di level sekolah. Soal-soal ujian disusun oleh sekolah berdasarkan standar daerah atau standar nasional. Dengan model ini evaluasi akan berjalan mandiri di sekolah.  Lalu, bagaimana jika soal-soal sekolah ternyata kurang bermutu ? Anak-anak tetap akan menjalani seleksi masuk SMP atau SMA berdasarkan nilai raport dan Ujian Akhir sekolah, dan atau ujian masuk sekolah. Sehingga tidak akan ada kata malas belajar sebab mereka tetap harus berkompetisi memperoleh nilai-nilai ulangan yang baik dan nilai ujian akhir yang tinggi supaya bisa masuk sekolah yang juga baik. Keputusan meluluskan atau tidak diserahkan kepada sekolah.

Dengan model survey yang terstandar bukankah pemerintah juga bisa memetakan secara akurat kualitas pendidikan tanpa harus memaksa sekolah melakukan kecurangan. Tentu saja survey standar yang dimaksud adalah survey yang dapat mewakili keragaman populasi dan keheterogenan sekolah di Indonesia.

Karena metode survey, soal-soal UN dapat dibuat menyerupai model tes PISA atau TIMSS yang bersifat internasional. Dan pemerintah tidak usah beralasan tidak mampu membuat soal-soal seperti itu karena menghabiskan kertas :-)

Sebagai perbandingan soal UN anak SD di Jepang untuk pelajaran matematika A (matematika teori), jumlah soal 9 tertuang dalam 17 lembar, dan matematika B (aplikasi), jumlah soal 6 dan disusun dalam 24 halaman kertas yang tidak bolak balik.

Jadi, jika mau buang duit dan menghabiskan anggaran, negara dengan mudah melakukannya dengan mengeluarkan kebijakan “buang uang”, tetapi jika negara memihak rakyat dan memikirkan penghematan, maka semestinya mengeluarkan kebijakan yang “cerdas”. Source: murniramli

3 komentar:

window of the Worlds mengatakan...

Ujian Nasional harus dijadikan sebagai penentu kelulusan, Jika kita ingin indeks pencapaian pendidikan kita meningkat. Kita sudah berpengalaman menjadikan ujian nasional hanya untuk mengukur pencapaian dengan nilai NEM beberapa tahun yang lalu. Apa yang terjadi, sekolah tidak punya beban meskipun NEM anak-anak dibawah 5, bahkan angka 2, .. biasa bermain dilembaran DANEM. Dengan UN sebagai penentu kelulusan sekolah tercambuk untuk mengejar pencapaian minimal. Masalah kecurangan, itulah charakter kita. Inilah masalah yang harus sama-sama kita atasi atau kurangi, tidak dengan menghapus UN atau hanya sekedar Survey.

Anonim mengatakan...

Saya termasuk yang tidak setuju dengan adanya UN. Sekarang coba kita pikir, guru disuruh membuat kurikulum, tapi ujiannya dibuat oleh pusat. Ini kan tidak nyambung namanya. Kalau pemerintah memang ngotot ingin menggelar UN, maka sepantasnya kurikulumnya tetap terpusat. Sehingga jelas arah pendidikan mau dibawa ke mana, kompetensinya diatur serinci mungkin, dan guru tinggal menyesuaikan diri. Kalau sistem yang ada sekarang malah serba tanggung dan tidak jelas. Yang paling rugi adalah murid, yang sebetulnya berhak memperoleh pendidikan yang adil.

Terlebih lagi, UN hanya mengukur ranah pengetahuan saja. Sedangkan yang lebih penting adalah aplikasi pengetahuan itu dalam kehidupan nyata. "Aplikasi" inilah yang dianggap sebelah mata oleh pemerintah dengan membuat model UN seperti sekarang ini. Jadi jangan heran kalau kita selalu kalah dengan negara lain dalam pengembangan teknologi, karena siswa-siswa kita kebanyakan hanya sebatas tahu saja, tidak bisa menerapkannya.

Anonim mengatakan...

Mengenai pemerataan mutu pendidikan di Indonesia, sebetulnya faktor penentunya adalah kualitas guru. Jadi kalau pemerintah mau meningkatkan kualitas pendidikan, tingkatkan kualitas gurunya, bukan bikin UN.

Posting Komentar