Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Termasuk iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Kitab-kitab-Nya, yaitu mengimani bahwa Al-Qur-an adalah Kalamullah [1] yang diturunkan (dari-Nya), bukan makhluk. Al-Qur-an berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara secara hakiki.
Allah al-Qadiir berfirman:
"Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” [An-Nisaa’: 164]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah Jalla Jalaluhu benar-benar berbicara kepada Nabi Musa Alaihissalam dan tidak boleh ditakwil dengan penafsiran yang lainnya. [2]
Juga firman Allah al-Mubiin:
"Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu m-minta pertolongan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.” [At-Taubah: 6]
Al-Qur-an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar-benar kalamullah, bukan perkataan makhluk-Nya, serta tidak boleh berpendapat bahwa Al-Qur-an itu hikayat (cerita) atau ibarah (terjemah) dari kalamullah atau majaz (kiasan). Pendapat ini adalah sesat dan menyimpang bahkan dapat menyebabkan kekufuran. [3]
Syaikh Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 449 H) rahimahullah berkata: “Ahlus Sunnah bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur-an adalah kalamullah, kitab, firman dan wahyu yang diturunkan-Nya, bukan makhluk. Barangsiapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa Al-Qur-an adalah makhluk, maka ia kafir menurut pandangan mereka (Ahlus Sunnah). Al-Qur-an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan oleh Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa Arab, untuk orang-orang yang berilmu, sebagai peringatan sekaligus kabar gembira. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla :
"Dan sesungguhnya Al-Qur-an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, ia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” [Asy-Syu’araa’: 192-195]
Al-Qur-an adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada ummatnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an:
"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu...” [Al-Maa-idah: 67]
Dan yang disampaikan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kalamullah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan dirinya kepada manusia pada waktu ibadah haji, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa di antara kalian yang sudi membawaku kepada kaumnya? Sesungguhnya kaum Quraisy menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku.” [4]
Al-Qur-an adalah kalamullah, bagaimana pun keadaannya, apakah yang terjaga di dalam dada (yang dihafal oleh kaum Muslimin) atau yang dibaca oleh lisan, yang ditulis di mushaf-mushaf. Al-Qur-an adalah kalamullah; lafazh, maknanya serta termasuk huruf dan maknanya adalah kalamullah.” [5]
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
"Barangsiapa yang berkata bahwa ucapan saya yang melafazhkan Al-Qur-an adalah makhluk, maka ia adalah penganut Jahmiyyah. Dan barangsiapa yang berkata bukan makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah.” [6]
Jika ada seseorang yang mengingkari sesuatu dari Al-Qur-an atau berkeyakinan bahwa ada kekurangan atau sesuatu yang perlu ditambah (padanya), maka ia telah kafir.
Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata: “Al-Qur-an adalah kalamullaah, bukan makhluk. Barangsiapa yang berkata: ‘Al-Qur-an adalah makhluk,’ maka ia telah kufur kepada Allah Yang Mahaagung, tidak diterima syahadatnya, tidak boleh dijenguk apabila ia sakit, tidak dishalatkan apabila meninggal, dan tidak boleh dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin. Ia harus diminta bertaubat, kalau tidak mau, maka harus dipenggal kepalanya.” [7]
Al-Qur-an wajib ditafsirkan menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat) [8] dan tidak boleh menafsirkan semata-mata dengan ra'yu (logika) karena hal tersebut berarti mengatakan sesuatu atas Nama Allah dengan tanpa ilmu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun menafsirkan Al-Qur-an dengan ra'yu (logika) semata hukumnya adalah haram.” [8]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnotes
[1]. Tentang masalah ini lihat al-‘Aqiidatus-Salafiyah fii Kalaami Rabbil Bariyyah wa Kasyfi Abaathillil Mubtadi’ah ar-Radiyyah (cet. I-1408 H) oleh ‘Abdullah bin Yusuf al-Judai’.
[2]. Lihat ar-Raddu ‘alal Jahmiyyah (hal. 155, cet. II-Daar Ibnul Atsir, 1416 H) oleh Imam Abu Sa’id ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi (wafat th. 280 H), tahqiq Badr bin ‘Abdillah al-Badr.
[3]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 20).
[4]. HR. Abu Dawud (no. 4734), at-Tirmidzi (no. 2925), Ibnu Majah (no. 201), al-Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (hal. 41), ad-Darimi dalam ar-Radd ‘alal Jahmiyyah (no. 285), Ahmad (III/390), al-Hakim (II/612-613), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahaby.
[5]. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 30-31, no. 6), tahqiq dan takhrij Badr bin ‘Abdillah al-Badr.
[6]. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 33) dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (XII/325).
[7]. Sanadnya shahih. Disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffaazh (II/ 728-729) secara ringkas. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 31, no. 7).
Catatan: Yang berhak melaksanakan hukuman ini adalah ulil amri (pemerintah/ hakim)
[8]. Sebagaimana yang termuat di dalam muqaddimah Tafsiir Ibni Katsiir ((I/4-8), cet. Daarus Salaam) bahwa Al-Qur-an ditafsirkan dengan:
a. Al-Qur-an, atau
b. As-Sunnah, atau
c. Perkataan para Sahabat g, atau
d. Perkataan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, kemudian
5. Secara bahasa (lafazh bahasa Arab).
Lihat Muqaddimah fii Ushuulit Tafsiir karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 84-94), Daar Ibnul Jauzi, th. 1414 H, tahqiq Fawwaz Ahmad Zamrali. Sumbe:Pemburu Sunah
0 komentar:
Posting Komentar