(Sebuah Refleksi Menghadapi Dilematis Pendidikan)
Oleh: Syahriyal
Dekade akhir-akhir ini seakan menjadi titik tolak berlangsungnya dinamika pendidikan di Indonesia. Dinamika ini diawali dengan penerapan otonomi daerah, di mana pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sehingga status guru juga berubah menjadi pegawai daerah.
Kemudian, muncul pengakuan secara yuridis bahwa guru termasuk salah satu profesi dan berimbas pada pemberian reward berupa tunjangan profesi.
Selanjutnya, perubahan sistem pelaksanaan ujian akhir secara nasional dari Ebtanas menjadi Ujian Nasional yang mulai diberi nama UNAS, UAN sampai pada UN saja.
Sampai akhirnya, muncul kebijakan pemerintah dengan pemberian dana stimulus melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di tingkat SD dan SLTP menjadi harapan baru terwujudnya pendidikan yang terjangkau dan murah.
Beberapa catatan di atas, ternyata juga diikuti dengan beberapa berita, isu, dan wacana tentang pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini.
Pertama, munculnya wacana dari pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang ingin kembali menarik status guru menjadi pegawai pusat atau lebih dikenal dengan sentralisasi guru.
Apa alasan pemerintah? Desentralisasi guru selama ini memang sesuai dengan amanat otonomi daerah, namun akhirnya dipandang belum dapat mendukung profesionalisme guru.
Katanya, jabatan guru banyak diombang-ambing sebagai alat politik di daerah. Guru dianggap tidak lagi independen dalam menjalankan tugasnya, karena dilibatkan dalam memenuhi kepentingan tertentu di daerah.
Satu lagi wacana di negeri ini yang mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pihak yang pro, memandang inilah kesempatan meletakkan kembali koridor guru secara profesional.
Pihak yang kontra, menganggap kebijakan ini akan menghilangkan hak-hak yang sudah diterima guru di daerah. Sampai sekarang wacana ini masih mengambang dan belum menemukan titik temu.
Kedua, pemberitaan di media yang gencar belakangan ini mengenai pungutan biaya pendidikan oleh sekolah. Pernyataan langsung dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) bahwa sekolah dilarang memungut biaya apapun kepada peserta didik.
Mendiknas menegaskan, untuk 2012 bagi sekolah yang melakukan pungutan apapun, maka kepala sekolah sebagai yang paling bertanggung jawab di sekolah dapat dikenakan sanksi pidana.
Ancaman ini memang luar biasa karena adanya kata biaya apapun yang juga bisa bermakna dalam bentuk apapun, sekecil apapun atau untuk keperluan apapun.
Apa alasan pemerintah? Pada 2012, pemerintah akan mengucurkan BOS yang sudah mampu menutup 100 persen pembiayaan operasional sekolah sampai ke tingkat SLTA.
Mendiknas juga mengatakan akan menerbitkan Permendiknas tentang larangan pungli. Satu lagi kata yang kurang sedap dalam pendidikan, yaitu “pungli” karena kata ini mungkin lebih akrab di pasaran atau di jalanan.
Sepertinya, berita satu ini mendapat dukungan dari berbagai pihak dan sangat minim yang melakukan pembelaan terhadap sekolah.
Wacana tentang BOS tidak hanya sampai di situ, pemerintah akan menjadikan dana BOS sebagai hibah. Pada 2012, dana BOS tidak lagi masuk dalam anggaran APBN, tetapi akan dihibahkan pada pemerintah provinsi yang nantinya akan disalurkan ke kabupaten/kota.
Ketiga, dilema yang berkaitan dengan Ujian Nasional (UN) selalu muncul musiman. Ketika UN akan dilaksanakan pada tahun itu, maka bermunculan pula argumen yang pro dan kontra.
Ada yang menganggap UN ini tidak memperhatikan unsur keadilan dan pemerataan di bidang pendidikan. Sekolah berkeinginan pula, guru langsung yang menentukan kelulusan peserta didiknya.
Ada lagi yang berpegang teguh bahwa UN ini wajib dipertahankan karena dapat menentukan standarisasi pendidikan di Indonesia. Namun, siapakah yang mampu mempertanggungjawabkan jika nilai anak sampai pada angka hampir mencapai maksimum? Padahal nilai ini akan dibawa anak sampai mati.
Sementara, semua pihak ingin anaknya lulus dalam UN. Keinginan ini selalu dibebankan pada guru. Seharusnya, orangtua juga memegang peranan penting dalam mendorong keberhasilan anaknya.
Misalnya, orangtua bekerja sama dengan sekolah dalam mematuhi larangan membawa handphone atau alat komunikasi sejenis bagi anaknya ke sekolah. Kerja sama seperti ini sangat penting untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Bukan sebaliknya, muncul persepsi yang salah dan malah saling curiga.
Keempat, dilema yang dihadapi guru saat ini bukan saja ketika mereka mendapat kesusahan dalam menetukan pilihan tepat saat menjalankan tugas.
Persoalan juga muncul, ketika mereka akan menerima kelebihan penghasilan. Setelah pengakuan profesi guru secara yuridis, tunjangan profesi melalui sertifikasi guru akan menyertainya. Namun sayangnya, terkadang hak-hak guru ini juga mengalami kendala dengan berbagai persoalan seperti keterlambatan pencairan.
Di sisi lain, muncul pula pertanyaan apakah sertifikasi guru ini telah mampu meningkatkan profesionalisme guru? Jawabannya, tergantung pada diri guru sendiri.
Asal jangan sampai ada nanti persepsi bahwa sertifikasi guru hanya untuk mengejar tunjangan semata. Semua persoalan ini membawa guru pada kematangan dalam mengambil sikap yang arif. Mencintai profesinya, mampu membuat guru kembali ke khittah-nya sehingga tidak ada lagi istilah terpaksa menjadi guru.
Kiranya ikhlas menjadi penawar terindah bagi guru dalam menjalankan tugas, dan balasan yang paling indah adalah pahala yang mengalir karena ilmu yang bermanfaat.***
Syahriyal Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Organisasi dan Kelembagaan.
0 komentar:
Posting Komentar